Harga Teman

28 Apr

Pagi ini aku melirik tempat beras, hampir kosong. Sungkan rasanya mau berhutang ke warung, karena baru kemarin sudah hutang buat beli sabun cuci sasetan dan kental manis.

Jadi kuputuskan berasnya dimasak bubur, lauk telor dadar yang dicampur tepung dan dipotong kecil-kecil. Dalam hati aku terus berdoa semoga dagangan banyak yang laku.

Kuabaikan suara nit nit nit dari meteran listrik yang berbunyi. Biarlah. Anggap saja musik jenis baru, nat nit nit nut.

“Ibuuu, aku lapar….”

“Iya nak, buburnya sebentar lagi matang.”

“Kok bubur bu? Memangnya ada yang sakit sekarang?”

“Lho, ini bubur istimewa, spesial buat Rita loh.”

Anakku tersenyum girang, kedua tangannya bertepuk-tepuk semangat.

“Hmmm baunya enak, aku bangunin dik Ami sama dik Dani ya bu!”

Bubur hangat dengan telor dadar ekstra tepung -satu-satunya telur yang kami punya pagi itu- tersaji di meja.

Tak lupa kental manis yang satu sasetnya dibagi dua.

Anak-anak berkumpul, mereka tersenyum riang. Padahal yang tersaji adalah kental manis, bukannya susu segar atau susu bubuk yang lebih layak. Telur yang mengandung gluten, bubur yang dibuat karena kekurangan beras.

“Alhamdulillah, hari ini kita bisa makan enak. Ini enak banget buburnya bu!” Anak sulungku berteriak gembira dan menghabiskan buburnya dengan lahap.

Aku tertawa melihat mereka, kami makan bersama-sama seadanya. Benar-benar seadanya. Tapi meski begitu, semua terasa ringan dan menyenangkan.

Bermula dari uang kiriman suamiku dari hasil kuli mulai macet, ditambah perusahaan tempat aku bekerja bangkrut, keuangan rumah tanggaku menurun drastis.

Aku mencoba berjualan online, mengandalkan wifi tetangga. Iya, jangankan beli beras dengan cukup, bahkan buat membeli kuota saja aku tak sanggup.

Padahal saat aku dan suami masih bekerja, kami sempat merasakan langganan tivi berbayar, mandi pun pakai sabun cair. Sekarang ini, sampo sasetan dan sabun batangan jadi langganan. Itupun sabunnya dipotong jadi dua, saking ngiritnya. Hahaha!

Untunglah tetangga yang baik hati memberiku izin untuk numpang koneksi internet. Tiap daganganku laku, tak lupa kuberi sedikit bingkisan atau kue buatan sendiri.

Dua hari ini daganganku benar-benar sepi. Aku mencoba bertahan dengan sisa logistik yang ada di dapur. Jika sudah mulai kehabisan, aku berjalan ke kebun tak bertuan di pinggir jalan raya, dimana ada pohon bayam dan pepaya. Daunnya kupetik untuk makan.

Harapanku kini tinggal gas dan listrik. Sebab jika keduanya habis, maka mau tak mau aku harus berhutang lagi. Padahal selama ini aku sangat menghindari hutang.

“Tin aku mau yang ini, stoknya masih?”

Sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponselku.

Teman lama semasa sekolah tetiba pesan dagangan. Kubalas pertanyaan satu persatu, sambil menemani anak-anak bermain.

Menjadi reseller adalah pengalaman yang sangat baru untukku. Tapi aku bersyukur, dari hasil berjualan online, aku masih bisa membayar gas, listrik dan beras.

“Aku pesan satu ya. Ini alamatku,” ujar Nanda, teman sekolahku.

Alhamdulillah, batinku dalam hati. Keuntungannya meski tak seberapa, cukup buat beli gas dan beras setengah kilo.

Listrik urusan nanti, biar nit nit nit dulu, kalau padam pakai lilin, pikirku.

Usai memberikan nomor rekening, tak berapa lama kemudian Nanda mengirimkan bukti transfer.

Aku terbelalak melihat nominalnya. “Maaf Nan, ini kebanyakan transfernya, aku transfer balik ya.”

“Nggakpapa, itu harga teman,” ucap Nanda.

“Alhamdulillah terimakasih sekali ya Nanda, semoga rezekimu makin lancar,” balasku.

Ya Allah, aku segera sujud dan menangis tanpa henti. Hari itu aku merasakan betapa besar kasih sayang Allah yang mencukupi kehidupan kami.

Allah memberikan kami rezeki dari sebuah ‘harga teman’.

Aku bergegas pergi ke warung untuk melunasi hutang, beli gas, beras dan membeli pulsa listrik.

Pulang dari warung, kulihat suamiku duduk di depan rumah, termenung dengan tatapan kosong.

“Udah pulang mas?” tanyaku.

“Dek, maaf banget. Mas di PHK.”

Aku tersenyum, dan mengelus punggung kekarnya. Kubuatkan segelas kopi hangat untuk pria yang selama ini berjuang menafkahi keluarga.

“Mas, Gusti Allah akan mencukupi kita, Insyaallah.”

Aku bercerita tentang kegiatanku berjualan online, lalu tiba-tiba ada seorang kawan lama yang beli dagangan dengan ‘harga teman’.

Suamiku tersenyum mendengarnya, aku lega. Binar matanya yang sempat meredup, kini terlihat hidup kembali.

“Kita dagang bareng aja ya dek, mas bantu adek jualan.”

“Bismillah mas.”

“Ibuuuuuukk aku lapaaarr,” anak sulungku, Rita menyusul ke teras rumah.

“Iya, hari ini kita makan ayam krispi!”

“Alhamdulillah ayam krispiiii, yeeaayy akhirnya kita makan ayam krispiiii,” anak-anak tertawa gembira.

Aku dan suami saling berpandangan, hari ini ‘harga teman’, sebuah langkah yang sangat sederhana dari kawan lama, membuat hidup kami sangat bahagia dan penuh harapan.

— Royanthinia Binti Wirya Sasmita

Tinggalkan komentar