Siapa Paling Jelek?

18 Mei

Ada suatu kisah seorang santri yang menuntut ilmu pada seorang Kyai.

Bertahun-tahun telah ia lewati hingga sampai pada suatu ujian terakhir.

Ia menghadap Kyai untuk ujian tersebut.

“Hai Fulan, kau telah menempuh semua tahapan belajar dan tinggal satu ujian, kalau kamu bisa menjawab berarti kamu lulus,“ kata Kyai.

“Baik pak Kyai, apa pertanyaannya?” kata sang santri.

“Kamu cari orang atau mahkluk yang lebih jelek dari kamu, kamu aku beri waktu tiga hari.“

Akhirnya santri tersebut meninggalkan pondok untuk melaksanakan tugas dan mencari jawaban atas pertanyaan Kyai-nya.

Hari pertama, sang santri bertemu dengan si Polan, pemabuk berat yang dapat di katakan hampir tiap hari mabuk-mabukan.

Santri berkata dalam hati, ”Inilah orang yang lebih jelek dari saya. Aku telah beribadah puluhan tahun sedang dia mabuk-mabukan terus.“

Tetapi sesampai ia di rumah, timbul pikirannya. “Belum tentu, sekarang Polan mabuk-mabukan siapa tahu pada akhir hayatnya Allah memberi hidayah (petunjuk) dan dia husnul khatimah dan aku sekarang baik banyak ibadah tetapi pada akhir hayat di kehendaki suul khatimah, bagaimana? Dia belum tentu lebih jelek dari saya.”

Hari kedua, santri jalan keluar rumah dan ketemu dengan seekor anjing yang menjijikkan rupanya, sudah bulunya kusut, kudisan dsb.

Santri bergumam, ”Ketemu sekarang yang lebih jelek dari aku. Anjing ini sudah haram dimakan, kudisan, jelek lagi.”

Santri gembira karena telah dapat jawaban atas pertanyaan gurunya.

Waktu akan tidur sehabis Isya, dia merenung, “Anjing itu kalau mati, habis perkara dia. Dia tidak dimintai tanggung jawab atas perbuatannya oleh Allah, sedangkan aku akan dimintai pertanggung jawaban yang sangat berat yang kalau aku berbuat banyak dosa akan masuk neraka. Aku tidak lebih baik dari anjing itu.”

Hari ketiga akhirnya santri menghadap Kyai.

Kyai bertanya, “Sudah dapat jawabannya muridku?”

“Sudah guru”, santri menjawab. ”Ternyata orang yang paling jelek adalah saya, guru”.

Sang Kyai tersenyum, “Kamu aku nyatakan lulus.”

Selama kita masih sama-sama hidup kita tidak boleh sombong/merasa lebih baik dari orang/mahkluk lain.

Yang berhak sombong adalah Allah SWT. Karena kita tidak tahu bagaimana akhir hidup kita nanti.

Dengan demikian maka kita akan belajar berprasangka baik kepada orang/mahkluk lain yang sama-sama ciptaan Allah.

Semoga bermanfaat.

Dia Akan Meledakkan Masjid

17 Mei

Bule berperawakan tinggi tegap ini memiliki cita-cita besar. Ia berhasrat tampil menghiasi head line segenap media massa Amerika Serikat, dengan berita yang sungguh epik: sebagai superhero yang berhasil meledakkan masjid, saat sekurang-kurangnya 200 umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah shalat Jumat, akan mati terpanggang dalam aksinya tersebut!

Richard McKinney lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang rasis. Meski tinggal di lingkungan kulit hitam, ia justru dilarang keras bergaul dengan anak-anak negro.

Di saat keluarga lain mengedukasi bahaya bullying pada anak-anaknya, orang tua serta kakek Richard malah berhasil menanamkan doktrin dalam diri pemuda ini, bahwa warga kulit putih “adalah manusia paling superior” dibanding ras manapun juga. Dan warga superior tidak butuh menerapkan toleransi pada manusia rendahan.

Alih-alih tumbuh sebagai anak budiman, Richard malah dikenal sebagai trouble maker yang super rasis, kerap mengukir berbagai bentuk kenakalan, hingga puncaknya ia didepak dari sekolah.

Beruntung angkatan laut AS buka pendaftaran, hingga selamatlah jalan hidupnya. Seandainya tidak jadi marinir, bisa dipastikan saat itu Richard sudah menjelma menjadi bandit kelas kakap, atau bahkan terbunuh dalam aksi kriminalitas.

Namun, sejak bergabung sebagai tentara, ia merasa doktrin yang ditanamkan padanya sejak belia malah seiring sejalan dengan doktrin gugus tugasnya yang mengajarkan cara menghabisi musuh.

Tak pelak, terhadap apapun dan siapapun yang ia anggap tidak sejalan dengan ideologinya, kebencian yang sudah terpupuk dalam diri Richard tumbuh semakin mengurat akar.

Ketika pensiun dari angkatan laut, Richard mengaku sempat kebingungan. Ia seperti kehilangan sesuatu dalam hidupnya. Fase galau ini bahkan menjerumuskan Richard menjadi seorang alkoholik. Hingga suatu hari, ia akhirnya paham akar dari rasa galau tersebut. Richard merasa hidupnya hampa karena tak lagi memiliki musuh untuk dibasmi!

Dahsyat betul ideologi monster satu ini, bukan?

Di hari-hari saat ia berhasil memaksa dirinya tidak bermabuk-mabukkan, Richard mulai mengevaluasi akar dari masalah yang ia hadapi. Fakta bahwa ia diberhentikan paksa dari marinir akibat cedera, sudah cukup membuat depresi. Ditambah pula mempertimbangkan status bujang lapuk di usianya yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi.

Selama 25 tahun mengabdi sebagai marinir, sebagian besar karirnya dihabiskan bertugas di negara-negara Timur Tengah. Dengan kata lain, hampir seluruh jam terbangnya digunakan untuk membasmi musuh dengan satu latar belakang yang sama, yaitu Islam.

Bingo! Itu dia musuh yang membuatnya merasa kehilangan: Islam! The enemy he was forced to say good bye to, that made his life so worthless now.

Dan untuk lanjut memusuhi Islam, Richard sadar ia tidak lagi butuh medan perang. Toh bendera perseteruan dengan umat muslim bisa dikibarkannya kapanpun dan di manapun sekarang.

“Rasa benci terhadap Islam memenuhi diriku 100%.” Richard pernah mengakui suatu kali. “Aku benci apapun yang berbau Islam, bahkan rasa marahku bisa menggelegak tak terbendung hanya karena melihat seseorang berpenampilan ala Islam. Dalam perspektifku, Islam laksana kanker bagi umat manusia di dunia. Dan jika diibaratkan berada dalam tubuh yang sama, maka aku adalah antibodi yang bertugas menumpas penyakit sialan ini!”

Lucunya, saking fokus membangun kebencian terhadap Islam, hidupnya malah jadi membaik. Richard bisa lepas dari kebiasaan mabuk-mabukan, bahkan berhasil membangun rumah tangga.

Suatu hari tatkala menemani istrinya shopping, Richard berada di toko yang sama dengan dua orang wanita berbalut gamis hitam pekat, lengkap dengan burqa.

Dengan tubuh menggeletar penuh keringat, ia setengah mati menahan diri agar tidak menerjang kedua muslimah itu, kemudian mematahkan leher mereka.

Luar biasa. Jangankan pernah berbuat jahat padanya, kedua wanita muslim itu bahkan tidak mengenal Richard. Betapa mengerikan dampak kebencian yang tertanam di diri veteran marinir itu.

Hari itu ia memang berhasil menahan diri. Namun, efeknya ternyata malah mencetuskan rencana yang jauh lebih berbahaya.

Richard mulai merakit bom untuk diledakkan di pelataran Muncie’s Islamic Center, sebuah masjid di kampung halamannya, Indiana-AS.

Ia bolak balik mengunjungi masjid Muncie. Hanya di seputarannya saja, bahkan menginjak halaman masjid pun tak pernah. Tujuannya semata-mata agar dapat menentukan posisi paling maksimal bagi daya ledak bom rakitannya. Juga untuk memperhitungkan di mana kiranya lokasi terbaik, saat ia menikmati kehororan rencana itu terlaksana kelak.

Hasil dari observasinya, Richard memilih hari Jumat sebagai waktu eksekusi. Well, hari apalagi umat muslim lebih memakmurkan masjid selain Jumat? Dengan tersenyum puas ia memperkirakan setidaknya ada 200 manusia berlabel Islam yang akan berakhir menjadi serpihan daging hangus di hari naas itu nanti.

Richard sesungguhnya sangat menyadari, bahwa hukuman mati mutlak akan ia dapatkan sebagai ganjaran perbuatannya ini. Namun, ia tidak peduli sama sekali. Tampil sebagai superhero ala Amerika, lebih mulia dari segalanya.

“My hatred of Islam was the only thing that keeping me alive.”

Akan tetapi, terjadi sesuatu di luar rencana ….

Hanya beberapa hari menjelang eksekusi, Richard memergoki putrinya yang baru berusia 7 tahun, ternyata malah bersahabat dengan seorang bocah muslim!

Tak terkatakan betapa murkanya ia. Semua doktrin “warga superior tidak berbaur dengan manusia rendahan” tumpah ruah ia semburkan pada anak perempuannya. Semua bibit rasis yang ia peroleh dari orang tua serta kakeknya, ia hunjamkan dalam benak gadis kecil itu, dalam bahasa yang jauh dari pantas.

Namun, Richard sama sekali tidak siap dengan reaksi dari putrinya. Alih-alih menelan bulat-bulat doktrin berbau rasis itu sebagaimana dirinya dulu, si gadis kecil justru memuntabkan rasa kecewanya sambil memandang sang ayah dengan ekspresi jijik.

Untuk pertama kali, Richard McKinney mempertanyakan eksistensi kebencian yang kadung berkarat dalam dirinya. Dengan hati hancur, ia menyadari dirinya bukanlah sosok ayah yang pantas digugu dan ditiru oleh putri kecilnya. Ayah brengsek macam apa yang tega mewariskan rasa kebencian, rasisme dan bullying pada anak-anaknya?

Richard pada akhirnya memutuskan mencari jalan lain untuk menghadapi Islamophobia dengan metode yang lebih baik.

Hari itu, ia kembali mendatangi masjid yang berbulan-bulan ia jadikan target. Namun, berbeda dari sebelumnya, kali ini Richard melangkah hingga ke pintu utama masjid.

Saat itu hari Jumat, masjid Muncie mulai dipenuhi jamaah yang akan menunaikan ibadah Jumat mereka. Richard yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya termangu-mangu di sana, menghalangi pintu masuk masjid dengan tubuhnya yang menjulang bagai raksasa.

“Salam, Brother ….” Tiba-tiba sebuah suara menyapanya. “Ada yang bisa saya bantu?”

Richard McKinney bergerak salah tingkah. “Eh, mmm …. A-aku ingin tahu lebih banyak mengenai Islam ….”

Ia duduk di saf paling belakang, terpana mendengar khutbah Jumat yang disampaikan.

‘Wah, hebat benar materi yang diutarakan. Tapi aku tak akan tertipu, ini semua pasti hanya propaganda’ pikirnya sinis.

Setelah bercakap-cakap beberapa lama dengan pemuda yang menyapanya di pintu depan tadi, Richard kemudian pamit pulang berbekal pinjaman sebuah kitab sakti di tangannya.

Sebelum berpisah, pria tersebut menyelipkan pesan, “Bacalah ini. Jika kau punya pertanyaan–apapun itu–silakan datang lagi ke mari kapanpun kau mau.”

Richard menatap Al Quranul Karim dalam genggamannya, bertekad ingin menemukan bahan perdebatan sengit untuk pertemuan mereka yang berikutnya.

Sampai di rumah, ia menemukan banyak sekali kejutan dalam Al Quran pinjaman tersebut. Richard mencatat semua pertanyaannya, untuk dijawab oleh pengurus masjid.

Ia sama sekali tak menyangka, jawaban yang didapatkan ternyata sungguh terang benderang. Richard bahkan tidak menemukan alasan untuk berdebat saking puas dengan diskusi kecil mereka.

Lelaki itu mulai ketagihan. Ia membaca Al Quran lebih khusyuk serta mencatat lebih banyak pertanyaan. Dengan takjub Richard menyadari bahwa bukan saja jawaban yang ia peroleh, tapi juga pelita yang semakin menerangi jalan hidupnya.

Delapan minggu kemudian, veteran angkatan laut AS itu mengenakan busana terbaik yang ia miliki, kemudian berangkat menuju Muncie’s Islamic Center.

Bukan untuk mengaktifkan bom dan menghabisi ratusan umat muslim sesuai rencana besarnya semula … tapi hari itu Richard McKinney mengucapkan kalimat syahadat dan resmi memeluk Islam sebagai akidah hidupnya.

Man proposes, but God disposes.

Manusia boleh berencana, tapi Allah lah yang menentukan.

Ketika ujung jari Yang Maha Esa berkehendak untuk menghinakan atau memuliakan seseorang, tak ada apapun yang akan mampu menghalangi.

Hari ini, Richard McKinney menjabat sebagai President of Muncie’s Islamic Center. Manusia yang memimpin masjid Muncie kini, adalah manusia yang sama yang dulu ingin meratakan masjid itu dengan tanah!

Sounds too magical to be true, isn’t it? Memang ajaib. Keajaiban yang tak ada tandingannya. Keajaiban yang tak bisa dipatahkan oleh apapun juga.

Keajaiban yang dikunci oleh lafadz …

KUN, FAYAKUN!

Tabarakallah…

Pelajaran Untuk Umat Islam dari Genghis Khan

15 Mei

Ketika umat Islam diserang tentara Tatar, hampir seluruh wilayah Islam berhasil dijajah. Di antara yang terawal adalah wilayah Khurasan yang bertetangga dengan Mongol.

Pada mulanya, di Khurasan, Tatar tidak berdaya menembus pertahanan umat Islam di kota Bukhara. Lalu pemimpinnya Genghis Khan menulis surat kepada umat Islam:

“Barangsiapa yang menyerahkan senjata dan berada di sisi tentara Tatar, akan selamat. Tapi barangsiapa yang enggan, mereka akan kami buat menyesal.”

Surat tersebut menyebabkan umat Islam yang sedang terancam itu terpecah menjadi dua kubu.

Kubu pertama menolak keras tawaran Genghis Khan dengan berkata:

Seandainya mereka mampu memerangi kita, tidak mungkin mereka memberi penawaran seperti ini. Ini menandakan peluang kita cerah. Teruskan perjuangan, pasti kita akan beroleh salah satu di antara dua kebaikan: menang atau syahid penuh bahagia!

Namun kubu kedua cenderung menerima tawaran tersebut. Mereka berkata:

Menghadapi Tatar sama saja bunuh diri massal! Tidakkah kalian lihat jumlah mereka dan kelengkapan senjata mereka?”

Genghis Khan terus memantau dan mengambil peluang dari pertentangan di tubuh umat Islam. Dia mengirim surat berikutnya, khusus kepada kubu kedua yang gamang dan kompromis.

Dalam surat tersebut, Genghis Khan berjanji akan memberikan tampuk kekuasaan Bukhara kepada kubu kedua dengan syarat: mereka menumpas kubu pertama yang (dicapnya) ekstrem, radikal, dan fanatik.

Tawaran itu menyebabkan pihak kedua berbinar-binar. Mereka menyambutnya tanpa rasa bersalah sama sekali. Mereka bersedia memerangi saudara sendiri untuk Tatar!

Baku bunuh sesama muslim pun terjadi. Akhirnya, tumpaslah kubu yang teguh berjihad mempertahankan tanah air itu di tangan saudaranya sendiri yang menjual Islam demi dunia.

Apa yang menyedihkan? Apa lacur? Pihak yang menerima tawaran Tatar itu tidak diberi hadiah yang dijanjikan. Bahkan, senjata mereka dirampas, mereka ditangkap dan disembelih tanpa sisa.

Genghis Khan memberi sambutan yang sangat masyhur menjelang penyembelihan terhadap umat Islam yang mengkhianati saudaranya.

“Mereka sanggup memerangi saudara sendiri demi kita, padahal kita orang asing bagi mereka! Orang-orang semacam ini mustahil kita beri kepercayaan!”

__________________________________________

من لا يتعلم التاريخ يعلمه التاريخ

“Barangsiapa tidak belajar dari sejarah, maka sejarah akan mengajarkannya kembali.”

Oleh : Ustadz Fahmi Salim

Nilai 1 Riyal

14 Mei

Miliarder Saudi, Sulaiman Al-Rajhi berkisah:

Dahulu, hidup saya sangat susah alias fakir, sampai-sampai saya tidak bisa ikutan rihlah atau tamasya yang dilaksanakan oleh sekolah saya, yang waktu itu, biaya pendaftarannya hanya 1 Riyal Saudi saja.

Walaupun saya sudah menangis-nangis memohon kepada keluarga agar saya dapat ikutan rihlah, tapi tetap saja keluarga saya tidak punya uang 1 riyal, untuk mendaftarkan saya ikutan rihlah.

Sehari sebelum rihlah, saya berhasil menjawab sebuah pertanyaan yang dilontarkan guru di kelas, lalu sang guru itu pun memberi saya uang satu riyal sebagai hadiah, diiringi tepuk tangan murid-murid yang lain.

Pada saat itu, saya tidak lagi berpikir apa-apa, selain berlari kencang untuk mendaftarkan diri ikutan rihlah.

Duka nestapa saya terasa terbang seketika dan berubah total menjadi bahagia berkepanjangan selama berbulan-bulan.

Hari-hari sekolah pun berlalu. saya pun dewasa untuk melanjutkan kehidupan.

Setelah melewati berbagai rintangan hidup, setelah bekerja keras selama bertahun-tahun dan berkat anugerah dari Allah saya pun sukses dan selanjutnya saya membuat yayasan sosial. (Al Rajhi Bank Tower).

Setelah memulai bergerak di bidang amal sosial, saya kembali teringat kisah masa kecil saya.

Teringat kembali guru waktu kecil saya, orang Palestina itu, yang pernah memberi saya uang 1 Riyal.

Saya mulai mengingat-ingat, apakah beliau dahulu memberi saya uang 1 Riyal itu sebagai sedakah ataukah hadiah, karena saya sudah berhasil menjawab pertanyaannya.

Yang jelas, saya tidak mendapatkan jawaban yang pasti.

Saya berkata di dalam hati, apa pun motif dan niat sang guru, beliau sudah menyelesaikan problem besar saya saat itu, tanpa membebankan siapa-siapa.

Oleh karenanya, saya mengunjungi kembali sekolah saya itu, lalu saya mendatangi kantor sekolah dan mencari tahu keberadaan guru saya itu, sampai akhirnya saya mendapatkan jalan untuk menemuinya.

Saya pun akhirnya berencana menemuinya untuk mengetahui kondisinya saat ini.

Singkat kata, saya pun akhirnya dipertemukan kembali oleh Allah dengan guru baik itu, yang ternyata kondisi beliau sedang sangat susah, tidak lagi bekerja dan siap-siap pulang kampung.

Selanjutnya, setelah saya memperkenalkan diri, saya katakan pada beliau, bahwa saya punya utang besar pada beliau, pada beberapa tahun yang lalu.

Guru saya ini kaget bukan kepalang, apa benar ada orang yang punya utang pada saya, kata beliau.

Saya pun menjelaskan, “Apakah bapak masih ingat dengan murid bapak, yang pernah bapak beri uang satu Riyal, karena murid bapak itu berhasil menjawab soal yang bapak lontarkan di kelas bapak saat itu?”

Setelah berusaha mengingat-ingat, guru saya ini akhirnya tertawa, dan berkata, “Ya..ya.. saya ingat. Jadi kamu mencari saya untuk mengembalikan uang 1 Riyal itu.”

“Ya pak” jawab saya. Setelah sedikit berbincang, saya bawa beliau naik mobil dan kami pun beranjak pergi.

Selanjutnya, kami sampai ke tujuan, dan kendaraan kami berhenti tepat di depan sebuah villa indah.

Kami keluar dari mobil dan memasuki villa tersebut. Setelah berada di dalam villa, saya menyampaikan niat saya kepada guru saya ini, “Pak, villa ini saya berikan kepada bapak untuk melunasi utang saya dahulu, plus mobil yang tadi kita naiki, dan gaji per bulan seumur hidup, serta pekerjaan buat putra bapak di perusahaan saya.”

Guru saya ini kaget bukan kepalang, dan berujar, “Tetapi ini terlalu banyak, nak?”

“Percayalah pak, kegembiraan saya dengan 1 Riyal yang bapak berikan pada saya saat itu lebih besar nilainya dibandingkan dengan 10 villa seperti ini, saya tidak akan dapat melupakan kebahagiaan itu sampai sekarang,” jawab saya.

Inilah buah dari didikan agama yang baik.

Tebarkan bahagia, hilangkan duka nestapa sesama, dan tunggulah balasan terbaik dari-Nya.

Saat Suami Minta Rujuk…

13 Mei

Seorang suami menyesal setelah berpisah dengan istrinya, lalu dia menelpon istri tercintanya.

“Sayang… maafkan aku. Aku mau rujuk padamu.”

Istrinya menjawab,“Di dekatmu ada gelas…?”

Suami : “Hah…gelas…buat apa? Tidak ada…Kenapa emangnya?”

Istri : “Kalau begitu pergi ke dapur …dan ambil sekarang…” (dengan nada sedikit emosi).

Suami : “Kayaknya kamu udah gak beres. Tapi demi kamu gak apa-apa. Aku ambilkan sayang.”

Setelah si suami mendapatkan gelasnya ….dia bilang “UDAH SAYANG…UDAH DAPET GELASNYA”… terus digimanain?”

Istri : “Lemparkan gelas itu ke lantai” (sedikit membentak)

Suami : “Oke…oke…Sudah aku lempar sekeras-kerasnya ke lantai sayang….”

Istri : “Sekarang kembalikan gelas itu seperti semula…Enggak mungkin bisa kan? Begitu juga hatiku.”

Suami : “Gelasnya tidak pecah sayang…karena gelas plastik.”

Istri : “Iiiiiih…, sebel deh! Ya udah cepetan jemput aku. Jangang lupa ajak aku belanja ya…., udah keluar kan gaji bulanannya?”

Suami : 😁😅😂

Tetap semangat dan jangan lupa tersenyum untuk hari ini..

Buat para suami, jangan lupa memperbanyak gelas plastik di rumah…

Jangan serius, santai sejenak

Harga Teman

28 Apr

Pagi ini aku melirik tempat beras, hampir kosong. Sungkan rasanya mau berhutang ke warung, karena baru kemarin sudah hutang buat beli sabun cuci sasetan dan kental manis.

Jadi kuputuskan berasnya dimasak bubur, lauk telor dadar yang dicampur tepung dan dipotong kecil-kecil. Dalam hati aku terus berdoa semoga dagangan banyak yang laku.

Kuabaikan suara nit nit nit dari meteran listrik yang berbunyi. Biarlah. Anggap saja musik jenis baru, nat nit nit nut.

“Ibuuu, aku lapar….”

“Iya nak, buburnya sebentar lagi matang.”

“Kok bubur bu? Memangnya ada yang sakit sekarang?”

“Lho, ini bubur istimewa, spesial buat Rita loh.”

Anakku tersenyum girang, kedua tangannya bertepuk-tepuk semangat.

“Hmmm baunya enak, aku bangunin dik Ami sama dik Dani ya bu!”

Bubur hangat dengan telor dadar ekstra tepung -satu-satunya telur yang kami punya pagi itu- tersaji di meja.

Tak lupa kental manis yang satu sasetnya dibagi dua.

Anak-anak berkumpul, mereka tersenyum riang. Padahal yang tersaji adalah kental manis, bukannya susu segar atau susu bubuk yang lebih layak. Telur yang mengandung gluten, bubur yang dibuat karena kekurangan beras.

“Alhamdulillah, hari ini kita bisa makan enak. Ini enak banget buburnya bu!” Anak sulungku berteriak gembira dan menghabiskan buburnya dengan lahap.

Aku tertawa melihat mereka, kami makan bersama-sama seadanya. Benar-benar seadanya. Tapi meski begitu, semua terasa ringan dan menyenangkan.

Bermula dari uang kiriman suamiku dari hasil kuli mulai macet, ditambah perusahaan tempat aku bekerja bangkrut, keuangan rumah tanggaku menurun drastis.

Aku mencoba berjualan online, mengandalkan wifi tetangga. Iya, jangankan beli beras dengan cukup, bahkan buat membeli kuota saja aku tak sanggup.

Padahal saat aku dan suami masih bekerja, kami sempat merasakan langganan tivi berbayar, mandi pun pakai sabun cair. Sekarang ini, sampo sasetan dan sabun batangan jadi langganan. Itupun sabunnya dipotong jadi dua, saking ngiritnya. Hahaha!

Untunglah tetangga yang baik hati memberiku izin untuk numpang koneksi internet. Tiap daganganku laku, tak lupa kuberi sedikit bingkisan atau kue buatan sendiri.

Dua hari ini daganganku benar-benar sepi. Aku mencoba bertahan dengan sisa logistik yang ada di dapur. Jika sudah mulai kehabisan, aku berjalan ke kebun tak bertuan di pinggir jalan raya, dimana ada pohon bayam dan pepaya. Daunnya kupetik untuk makan.

Harapanku kini tinggal gas dan listrik. Sebab jika keduanya habis, maka mau tak mau aku harus berhutang lagi. Padahal selama ini aku sangat menghindari hutang.

“Tin aku mau yang ini, stoknya masih?”

Sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponselku.

Teman lama semasa sekolah tetiba pesan dagangan. Kubalas pertanyaan satu persatu, sambil menemani anak-anak bermain.

Menjadi reseller adalah pengalaman yang sangat baru untukku. Tapi aku bersyukur, dari hasil berjualan online, aku masih bisa membayar gas, listrik dan beras.

“Aku pesan satu ya. Ini alamatku,” ujar Nanda, teman sekolahku.

Alhamdulillah, batinku dalam hati. Keuntungannya meski tak seberapa, cukup buat beli gas dan beras setengah kilo.

Listrik urusan nanti, biar nit nit nit dulu, kalau padam pakai lilin, pikirku.

Usai memberikan nomor rekening, tak berapa lama kemudian Nanda mengirimkan bukti transfer.

Aku terbelalak melihat nominalnya. “Maaf Nan, ini kebanyakan transfernya, aku transfer balik ya.”

“Nggakpapa, itu harga teman,” ucap Nanda.

“Alhamdulillah terimakasih sekali ya Nanda, semoga rezekimu makin lancar,” balasku.

Ya Allah, aku segera sujud dan menangis tanpa henti. Hari itu aku merasakan betapa besar kasih sayang Allah yang mencukupi kehidupan kami.

Allah memberikan kami rezeki dari sebuah ‘harga teman’.

Aku bergegas pergi ke warung untuk melunasi hutang, beli gas, beras dan membeli pulsa listrik.

Pulang dari warung, kulihat suamiku duduk di depan rumah, termenung dengan tatapan kosong.

“Udah pulang mas?” tanyaku.

“Dek, maaf banget. Mas di PHK.”

Aku tersenyum, dan mengelus punggung kekarnya. Kubuatkan segelas kopi hangat untuk pria yang selama ini berjuang menafkahi keluarga.

“Mas, Gusti Allah akan mencukupi kita, Insyaallah.”

Aku bercerita tentang kegiatanku berjualan online, lalu tiba-tiba ada seorang kawan lama yang beli dagangan dengan ‘harga teman’.

Suamiku tersenyum mendengarnya, aku lega. Binar matanya yang sempat meredup, kini terlihat hidup kembali.

“Kita dagang bareng aja ya dek, mas bantu adek jualan.”

“Bismillah mas.”

“Ibuuuuuukk aku lapaaarr,” anak sulungku, Rita menyusul ke teras rumah.

“Iya, hari ini kita makan ayam krispi!”

“Alhamdulillah ayam krispiiii, yeeaayy akhirnya kita makan ayam krispiiii,” anak-anak tertawa gembira.

Aku dan suami saling berpandangan, hari ini ‘harga teman’, sebuah langkah yang sangat sederhana dari kawan lama, membuat hidup kami sangat bahagia dan penuh harapan.

— Royanthinia Binti Wirya Sasmita

Harga Orang Tua

27 Apr

Seorang ayah yang sudah tua menceritakan pengalamannya.

Aku memiliki tiga orang anak laki-laki, semuanya sudah menikah.

Suatu kali aku mengunjungi anakku yang paling tua. Tujuanku pada waktu itu ingin menginap di rumahnya bersama keluarganya.

Di sore hari aku meminta kepada istrinya air minum untuk dibawa ke kamar, kalau mau minum di malam hari. Lalu pada pagi harinya air minum itu aku tumpahkan ke atas kasur tempat tidurku semalam.

Ketika ia datang mengantarkan sarapan pagi aku berkata kepadanya, “Ananda, beginilah kondisi kalau sudah tua. Semalam aku ngompol di atas kasur”.

Dengan spontan ia emosi dan marah. Aku mendengar kalimat kasar, pedas, dan jelek meluncur tanpa rem dari mulutnya. Kemudian ia memerintahkanku untuk mencuci dan mengeringkannya kembali. Ia juga mengancamku agar tidak melakukan itu lagi, kalau tidak….. awas!

Aku tahan kemarahanku, aku bersihkan tempat tidur itu dan aku keringkan kembali.

Hari selanjutnya aku pergi ke rumah anakku yang kedua. Di sana aku juga melakukan hal yang sama.

Meledak marah istrinya dan ia memperlakukanku seperti yang dilakukan oleh istri anakku yang pertama. Bahkan ia melaporkanku kepada suaminya. Anakku diam saja, tidak memarahi istrinya dan tidak membelaku.

Setelah itu aku memutuskan untuk meninggalkan mereka, dan selanjutnya aku pergi ke rumah anak bungsuku.

Di rumah itu aku juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan di rumah dua orang saudaranya.

Ketika istrinya datang mengantarkan sarapan pagi, aku beri tahu dia bahwa aku semalam ngompol di atas tempat tidur.

Sambil tersenyum ramah ia berkata,: “Tidak apa-apa, Ini keadaan orang sudah tua. Dulu berapa sering suamiku ngompol ketika dia masih kecil”.

Kemudian ia bersihkan tempat tidur itu, ia keringkan dan ia beri wewangian.

Siang harinya aku berkata kepadanya, “Aku punya seorang teman. Ia minta belikan perhiasan emas kepadaku, tapi aku tidak tahu ukurannya seberapa. Orangnya persis sebesarmu ini. Tolong berikan kepadaku ukuran tanganmu”.

Setelah mendapatkan ukuran yang ia inginkan, orang tua itu pergi ke pasar membeli perhiasan emas yang banyak karena ia punya harta melimpah.

Kemudian ia undang seluruh anak dan menantunya untuk datang ke rumahnya. Ia keluarkan seluruh perhiasan yang sudah ia beli lalu ia ceritakan perihal sebenarnya bahwa ia sengaja menumpahkan air di atas tempat tidur. Tidak ada ia ngompol waktu tidur.

Ia panggil istri anaknya yang paling kecil, lalu ia pasangkan perhiasan itu kepadanya. Ia berkata,: “Inilah anak mantuku tempat aku bersandar nanti ketika aku sudah semakin tua. Aku akan menghabiskan sisa-sisa umurku bersamanya”.

Hampir saja dua orang istri anaknya yang pertama dan kedua pingsan menahan malu dan sesal.

Selanjutnya ayah Itu berkata kepada anak-anaknya : “Seperti inilah nanti perlakuan anak-anak kalian kepada kalian ketika kalian sudah tua. Bersiap-siaplah untuk menyesal pada hari itu sebagaimana menyesalnya aku atas letihnya aku mengasuh kalian waktu kecil.”

Kecuali adik kalian ini. Ia akan hidup bahagia dan akan menemui Tuhannya dalam keadaan gembira. Kalian berdua tidak mendapatkan hal seperti ini dari istri-istri kalian karena kalian tidak mendidik mereka tentang harga orang tua.

Semoga bermanfaat.

Mungkin Do’a Anda…

26 Apr

Pandemi masih terus berlangsung.

Korban berjatuhan terus bertambah.

Entah sampai kapan akan berakhir.

Maka sudah berhari-hari ini,

seharusnya kita semua tersadar,

bahwa kita tidak punya daya dan kekuatan apa pun.

Kita sekumpulan makhluk yang lemah

di hadapan keMahaPerkasaan-Nya…

Tiba-tiba teringatlah jiwa,

pada sebuah kisah klasik di zaman Salaf.

Kisah sesosok tukang sepatu di Kota Sang Nabi.

Sosoknya tiada dikenal oleh sesiapa.

Tapi di malam yang sungguh senyap itu,

ia datang bersimpuh menghamba pada Rabb segala hamba.

Kota Sang Nabi dalam paceklik yang berat. Dan segenap penduduknya telah merintih pedih. Tahun itu sungguh berat.

Hingga mereka pun menegakkan Istisqa’

demi turunnya hujan mengakhiri derita itu. Tapi, rintihan Istisqa’ itu belum kunjung terkabulkan…

Hingga,

Sang Hamba dalam gelap itu pun bersimpuh di sana.

Di hadapan salah satu tiang Masjid Nabawi.

Menghamba sepenuh hati.

Bersujud sepenuh rindu.

“Duhai Rabbi, duhai Rabbi…

Segenap ahli kota Nabi-Mu ini telah memohon pada-Mu agar Engkau sudi turunkan hujan untuk mereka.

Tapi Engkau belum turunkan itu untuk mereka…

Maka aku bersumpah atas Nama-Mu, duhai Rabbi,

Karuniakan hujanMu untuk mereka, ya Allah…”

Begitu sang hamba dalam gelap itu merintih.

Seorang tabi’in, Muhammad bin al-Munkadir, menjadi saksi doa “sang hamba dalam gelap” itu.

Tapi ia pun sempat bergumam, “Majnun!”

Yah, siapa pula si “hamba dalam gelap” itu dibanding segenap penduduk Kota Sang Nabi? Sedang doa mereka saja belum kunjung terkabulkan.

Tapi tiba-tiba, Muhammad bin al-Munkadir bertutur:

“…aku dengarkan suara guntur menggelegar!”

Tidak lama kemudian, hujan turun tak terkira lebatnya.

Lalu kudengar ia (si hamba dalam gelap itu) melantunkan segala puja dan puji tak terkira, sambil berkata:

“Duhai, siapakah gerangan hamba ini, hingga Engkau kabulkan pintaku, Ya Allah? Tapi hamba berlindung padaMu dengan segenap pujian dan keMahabesaranMu…’”

Si “hamba dalam gelap” itu pun menghabiskan malam itu dalam sujud-sujud yang panjang hingga subuh menjelang.

Seusai itu, ia keluar meninggalkan mesjid. Lalu saat adzan berkumandang, ia kembali datang ke Masjid Sang Nabi, seakan tak pernah hadir di sana sama sekali.

Muhammad bin al-Munkadir penasaran sungguh hatinya. Siapakah si “hamba dalam gelap” itu?

Disusurinya jejak sang hamba itu, hingga ia pun tahu, “si hamba dalam gelap” itu hanyalah seorang tukang sol sepatu.

Bahkan siapa namanya sekali pun, tak pernah tercatat dalam lembar sejarah. Karena saat ia tahu Muhammad bin al-Munkadir mengetahui “kisah doanya” malam itu, “si hamba dalam gelap” itu pun pergi menghilang: entah ke mana…

Maka di hari-hari yang semakin kabut ini,

mungkin engkaulah “si hamba dalam gelap” itu.

Aku tak pernah peduli tentang dirimu, Kawan.

meski engkau seorang pendosa yang merintih dalam dosa,

meski engkau seorang pengantar keliling yang jarang terlihat,

meski engkau seorang yang tak dikenang sebagai ahli ibadah.

Jangan remehkan dirimu.

Meski engkau seorang pendosa hina.

Karena engkau sedang berdoa

kepada Sang Maha Pengampun!

Jangan remehkan dirimu dan doamu.

Meski kisahmu adalah kisah yang kelam.

Karena engkau sedang berdoa

kepada Sang Maha Penerima Taubat hambaNya.

Hari-hari ini, doa-doamu adalah senjata kita semua,

mengetuk Pintu Langit,

membujuk Sang MahaTinggi,

agar melipur hati dan jiwa yang gelisah ini,

agar mengangkat musibah dan wabah ini,

agar melindungi segenap anak negeri ini,

agar menjaga para dokter, perawat dan segenap tenaga medis,

agar memperbaiki kepemimpinan di negeri ini,

agar akhirnya setiap hati terhidayahi di jalan bencana ini,

agar akhirnya –saat semua usai:

kita semua semakin menyadari

betapa berharganya kesempatan hidup ini

untuk menyemaikan kisah kebahagiaan abadi

dalam episode perjalanan kita di ukhrawi…

Membunuh Kebenaran Agar Bertahan Hidup dalam Aib

25 Apr

Tentara musuh memasuki sebuah desa. Mereka menodai kehormatan seluruh wanita di desa itu, kecuali seorang wanita yang selamat dari penodaan. Dia melawan, membunuh dan kemudian memenggal kepala tentara yang akan menodainya.

Ketika seluruh tentara sudah pergi meninggalkan desa itu, para wanita malang semuanya keluar dengan busana compang-camping, meraung, menangis, dan meratap, kecuali satu orang wanita tadi.

Dia keluar dari rumahnya dengan busana rapat dan bersimbah darah sambil menenteng kepala tentara itu dengan tangan kirinya.

Para wanita bertanya: “Bagaimana engkau bisa melakukan hal itu dan selamat dari bencana ini?”

Ia menjawab, “Bagiku hanya ada satu jalan keluar. Berjuang membela diri atau mati dalam menjaga kehormatan.”

Para wanita mengaguminya, namun kemudian rasa was-was merambat dalam benak mereka. Bagaimana nanti jika para suami menyalahkan mereka gara-gara tahu ada contoh wanita pemberani ini.

Mereka khawatir sang suami akan bertanya, “Mengapa kalian tidak membela diri seperti wanita itu, bukankah lebih baik mati dari pada ternoda?”

Kekaguman pun berubah menjadi ketakutan yang memuncak. Bawah sadar ketakutan para wanita itu seperti mendapat komando.

Mereka beramai-ramai menyerang wanita pemberani itu dan akhirnya membunuhnya. Ya, membunuh kebenaran agar mereka dapat bertahan hidup dalam aib, dalam kelemahan, dalam fatamorgana bersama.

Beginilah keadaan kita saat ini, orang-orang yang terlanjur rusak. Mereka mencela, mengucilkan, menyerang dan bahkan membunuh eksistensi orang-orang yang masih konsisten menegakkan kebenaran, agar kehidupan mereka tetap terlihat berjalan baik.

Walau sesungguhnya penuh aib, dosa, kepalsuan, pengkhianatan, ketidakberdayaan, dan menuju pada kehancuran yang nyata.

Sebelum terlambat, pastikan berani berpihak kepada KEBENARAN.

— Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri.

Nasihat yang Berharga

24 Apr

Inilah di antara tulisan terbaik Syekh Ali Thanthawi:

“Pada saat engkau mati, janganlah kau bersedih.

Jangan pedulikan jasadmu yang sudah mulai layu,

karena kaum muslimin akan mengurus jasadmu.

Mereka akan melucuti pakaianmu, memandikanmu dan mengkafanimu

lalu membawamu ke tempatmu yang baru, kuburan.

Akan ada banyak orang yang mengantarkan jenazahmu

bahkan mereka akan meninggalkan pekerjaannya

untuk ikut menguburkanmu.

Barang barangmu akan dikemas,

kunci-kuncimu, kitab, koper, sepatu dan pakaianmu.

Jika keluargamu setuju barang-barang itu akan disedekahkan agar bermanfaat untukmu.

Yakinlah;

dunia dan alam semesta tidak akan bersedih dengan kepergianmu.

Ekonomi akan tetap berlangsung

Posisi pekerjaanmu akan diisi orang lain.

Hartamu menjadi harta halal bagi ahli warismu.

Sedangkan kamu yang akan dihisab

dan diperhitungkan dari hartamu!

Kesedihan atasmu ada 3:

Orang yang mengenalmu sekilas akan mengatakan, kasihan.

Kawan-kawanmu akan bersedih beberapa jam atau beberapa hari lalu mereka kembali seperti sediakala dan tertawa-tawa.

Di rumah ada kesedihan yang mendalam. Keluargamu akan bersedih seminggu dua minggu, sebulan dua bulan, dan mungkin hingga setahun. Selanjutnya mereka meletakkanmu dalam arsip kenangan.

Demikianlah…”Kisahmu telah berakhir di tengah-tengah manusia”.

Dan kisahmu yang sesungguhnya baru dimulai, Akhirat!

Telah musnah kemuliaan, harta, kesehatan, dan anak.

Telah engkau tinggalkan rumah, istana dan istri tercinta.

Kini hidup yang sesungguhnya telah dimulai.

Pertanyaannya adalah “Apa persiapanmu untuk kuburmu dan akhiratmu?”

Hakikat ini memerlukan perenungan.

Usahakan dengan sungguh-sungguh.

jalankan semua kewajiban, hal-hal yang disunnahkan,

sedekah rahasia, merahasiakan amal shalih, shalat malam,

Semoga saja engkau selamat.

Andai engkau mengingatkan manusia dengan tulisan ini

insya Allah pengaruhnya akan engkau temui dalam timbangan kebaikanmu pada hari kiamat.

“Berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.”

Semoga bermanfaat.