Saat Suami Minta Rujuk…

13 Mei

Seorang suami menyesal setelah berpisah dengan istrinya, lalu dia menelpon istri tercintanya.

“Sayang… maafkan aku. Aku mau rujuk padamu.”

Istrinya menjawab,“Di dekatmu ada gelas…?”

Suami : “Hah…gelas…buat apa? Tidak ada…Kenapa emangnya?”

Istri : “Kalau begitu pergi ke dapur …dan ambil sekarang…” (dengan nada sedikit emosi).

Suami : “Kayaknya kamu udah gak beres. Tapi demi kamu gak apa-apa. Aku ambilkan sayang.”

Setelah si suami mendapatkan gelasnya ….dia bilang “UDAH SAYANG…UDAH DAPET GELASNYA”… terus digimanain?”

Istri : “Lemparkan gelas itu ke lantai” (sedikit membentak)

Suami : “Oke…oke…Sudah aku lempar sekeras-kerasnya ke lantai sayang….”

Istri : “Sekarang kembalikan gelas itu seperti semula…Enggak mungkin bisa kan? Begitu juga hatiku.”

Suami : “Gelasnya tidak pecah sayang…karena gelas plastik.”

Istri : “Iiiiiih…, sebel deh! Ya udah cepetan jemput aku. Jangang lupa ajak aku belanja ya…., udah keluar kan gaji bulanannya?”

Suami : 😁😅😂

Tetap semangat dan jangan lupa tersenyum untuk hari ini..

Buat para suami, jangan lupa memperbanyak gelas plastik di rumah…

Jangan serius, santai sejenak

Harga Teman

28 Apr

Pagi ini aku melirik tempat beras, hampir kosong. Sungkan rasanya mau berhutang ke warung, karena baru kemarin sudah hutang buat beli sabun cuci sasetan dan kental manis.

Jadi kuputuskan berasnya dimasak bubur, lauk telor dadar yang dicampur tepung dan dipotong kecil-kecil. Dalam hati aku terus berdoa semoga dagangan banyak yang laku.

Kuabaikan suara nit nit nit dari meteran listrik yang berbunyi. Biarlah. Anggap saja musik jenis baru, nat nit nit nut.

“Ibuuu, aku lapar….”

“Iya nak, buburnya sebentar lagi matang.”

“Kok bubur bu? Memangnya ada yang sakit sekarang?”

“Lho, ini bubur istimewa, spesial buat Rita loh.”

Anakku tersenyum girang, kedua tangannya bertepuk-tepuk semangat.

“Hmmm baunya enak, aku bangunin dik Ami sama dik Dani ya bu!”

Bubur hangat dengan telor dadar ekstra tepung -satu-satunya telur yang kami punya pagi itu- tersaji di meja.

Tak lupa kental manis yang satu sasetnya dibagi dua.

Anak-anak berkumpul, mereka tersenyum riang. Padahal yang tersaji adalah kental manis, bukannya susu segar atau susu bubuk yang lebih layak. Telur yang mengandung gluten, bubur yang dibuat karena kekurangan beras.

“Alhamdulillah, hari ini kita bisa makan enak. Ini enak banget buburnya bu!” Anak sulungku berteriak gembira dan menghabiskan buburnya dengan lahap.

Aku tertawa melihat mereka, kami makan bersama-sama seadanya. Benar-benar seadanya. Tapi meski begitu, semua terasa ringan dan menyenangkan.

Bermula dari uang kiriman suamiku dari hasil kuli mulai macet, ditambah perusahaan tempat aku bekerja bangkrut, keuangan rumah tanggaku menurun drastis.

Aku mencoba berjualan online, mengandalkan wifi tetangga. Iya, jangankan beli beras dengan cukup, bahkan buat membeli kuota saja aku tak sanggup.

Padahal saat aku dan suami masih bekerja, kami sempat merasakan langganan tivi berbayar, mandi pun pakai sabun cair. Sekarang ini, sampo sasetan dan sabun batangan jadi langganan. Itupun sabunnya dipotong jadi dua, saking ngiritnya. Hahaha!

Untunglah tetangga yang baik hati memberiku izin untuk numpang koneksi internet. Tiap daganganku laku, tak lupa kuberi sedikit bingkisan atau kue buatan sendiri.

Dua hari ini daganganku benar-benar sepi. Aku mencoba bertahan dengan sisa logistik yang ada di dapur. Jika sudah mulai kehabisan, aku berjalan ke kebun tak bertuan di pinggir jalan raya, dimana ada pohon bayam dan pepaya. Daunnya kupetik untuk makan.

Harapanku kini tinggal gas dan listrik. Sebab jika keduanya habis, maka mau tak mau aku harus berhutang lagi. Padahal selama ini aku sangat menghindari hutang.

“Tin aku mau yang ini, stoknya masih?”

Sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponselku.

Teman lama semasa sekolah tetiba pesan dagangan. Kubalas pertanyaan satu persatu, sambil menemani anak-anak bermain.

Menjadi reseller adalah pengalaman yang sangat baru untukku. Tapi aku bersyukur, dari hasil berjualan online, aku masih bisa membayar gas, listrik dan beras.

“Aku pesan satu ya. Ini alamatku,” ujar Nanda, teman sekolahku.

Alhamdulillah, batinku dalam hati. Keuntungannya meski tak seberapa, cukup buat beli gas dan beras setengah kilo.

Listrik urusan nanti, biar nit nit nit dulu, kalau padam pakai lilin, pikirku.

Usai memberikan nomor rekening, tak berapa lama kemudian Nanda mengirimkan bukti transfer.

Aku terbelalak melihat nominalnya. “Maaf Nan, ini kebanyakan transfernya, aku transfer balik ya.”

“Nggakpapa, itu harga teman,” ucap Nanda.

“Alhamdulillah terimakasih sekali ya Nanda, semoga rezekimu makin lancar,” balasku.

Ya Allah, aku segera sujud dan menangis tanpa henti. Hari itu aku merasakan betapa besar kasih sayang Allah yang mencukupi kehidupan kami.

Allah memberikan kami rezeki dari sebuah ‘harga teman’.

Aku bergegas pergi ke warung untuk melunasi hutang, beli gas, beras dan membeli pulsa listrik.

Pulang dari warung, kulihat suamiku duduk di depan rumah, termenung dengan tatapan kosong.

“Udah pulang mas?” tanyaku.

“Dek, maaf banget. Mas di PHK.”

Aku tersenyum, dan mengelus punggung kekarnya. Kubuatkan segelas kopi hangat untuk pria yang selama ini berjuang menafkahi keluarga.

“Mas, Gusti Allah akan mencukupi kita, Insyaallah.”

Aku bercerita tentang kegiatanku berjualan online, lalu tiba-tiba ada seorang kawan lama yang beli dagangan dengan ‘harga teman’.

Suamiku tersenyum mendengarnya, aku lega. Binar matanya yang sempat meredup, kini terlihat hidup kembali.

“Kita dagang bareng aja ya dek, mas bantu adek jualan.”

“Bismillah mas.”

“Ibuuuuuukk aku lapaaarr,” anak sulungku, Rita menyusul ke teras rumah.

“Iya, hari ini kita makan ayam krispi!”

“Alhamdulillah ayam krispiiii, yeeaayy akhirnya kita makan ayam krispiiii,” anak-anak tertawa gembira.

Aku dan suami saling berpandangan, hari ini ‘harga teman’, sebuah langkah yang sangat sederhana dari kawan lama, membuat hidup kami sangat bahagia dan penuh harapan.

— Royanthinia Binti Wirya Sasmita

Harga Orang Tua

27 Apr

Seorang ayah yang sudah tua menceritakan pengalamannya.

Aku memiliki tiga orang anak laki-laki, semuanya sudah menikah.

Suatu kali aku mengunjungi anakku yang paling tua. Tujuanku pada waktu itu ingin menginap di rumahnya bersama keluarganya.

Di sore hari aku meminta kepada istrinya air minum untuk dibawa ke kamar, kalau mau minum di malam hari. Lalu pada pagi harinya air minum itu aku tumpahkan ke atas kasur tempat tidurku semalam.

Ketika ia datang mengantarkan sarapan pagi aku berkata kepadanya, “Ananda, beginilah kondisi kalau sudah tua. Semalam aku ngompol di atas kasur”.

Dengan spontan ia emosi dan marah. Aku mendengar kalimat kasar, pedas, dan jelek meluncur tanpa rem dari mulutnya. Kemudian ia memerintahkanku untuk mencuci dan mengeringkannya kembali. Ia juga mengancamku agar tidak melakukan itu lagi, kalau tidak….. awas!

Aku tahan kemarahanku, aku bersihkan tempat tidur itu dan aku keringkan kembali.

Hari selanjutnya aku pergi ke rumah anakku yang kedua. Di sana aku juga melakukan hal yang sama.

Meledak marah istrinya dan ia memperlakukanku seperti yang dilakukan oleh istri anakku yang pertama. Bahkan ia melaporkanku kepada suaminya. Anakku diam saja, tidak memarahi istrinya dan tidak membelaku.

Setelah itu aku memutuskan untuk meninggalkan mereka, dan selanjutnya aku pergi ke rumah anak bungsuku.

Di rumah itu aku juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan di rumah dua orang saudaranya.

Ketika istrinya datang mengantarkan sarapan pagi, aku beri tahu dia bahwa aku semalam ngompol di atas tempat tidur.

Sambil tersenyum ramah ia berkata,: “Tidak apa-apa, Ini keadaan orang sudah tua. Dulu berapa sering suamiku ngompol ketika dia masih kecil”.

Kemudian ia bersihkan tempat tidur itu, ia keringkan dan ia beri wewangian.

Siang harinya aku berkata kepadanya, “Aku punya seorang teman. Ia minta belikan perhiasan emas kepadaku, tapi aku tidak tahu ukurannya seberapa. Orangnya persis sebesarmu ini. Tolong berikan kepadaku ukuran tanganmu”.

Setelah mendapatkan ukuran yang ia inginkan, orang tua itu pergi ke pasar membeli perhiasan emas yang banyak karena ia punya harta melimpah.

Kemudian ia undang seluruh anak dan menantunya untuk datang ke rumahnya. Ia keluarkan seluruh perhiasan yang sudah ia beli lalu ia ceritakan perihal sebenarnya bahwa ia sengaja menumpahkan air di atas tempat tidur. Tidak ada ia ngompol waktu tidur.

Ia panggil istri anaknya yang paling kecil, lalu ia pasangkan perhiasan itu kepadanya. Ia berkata,: “Inilah anak mantuku tempat aku bersandar nanti ketika aku sudah semakin tua. Aku akan menghabiskan sisa-sisa umurku bersamanya”.

Hampir saja dua orang istri anaknya yang pertama dan kedua pingsan menahan malu dan sesal.

Selanjutnya ayah Itu berkata kepada anak-anaknya : “Seperti inilah nanti perlakuan anak-anak kalian kepada kalian ketika kalian sudah tua. Bersiap-siaplah untuk menyesal pada hari itu sebagaimana menyesalnya aku atas letihnya aku mengasuh kalian waktu kecil.”

Kecuali adik kalian ini. Ia akan hidup bahagia dan akan menemui Tuhannya dalam keadaan gembira. Kalian berdua tidak mendapatkan hal seperti ini dari istri-istri kalian karena kalian tidak mendidik mereka tentang harga orang tua.

Semoga bermanfaat.

Mungkin Do’a Anda…

26 Apr

Pandemi masih terus berlangsung.

Korban berjatuhan terus bertambah.

Entah sampai kapan akan berakhir.

Maka sudah berhari-hari ini,

seharusnya kita semua tersadar,

bahwa kita tidak punya daya dan kekuatan apa pun.

Kita sekumpulan makhluk yang lemah

di hadapan keMahaPerkasaan-Nya…

Tiba-tiba teringatlah jiwa,

pada sebuah kisah klasik di zaman Salaf.

Kisah sesosok tukang sepatu di Kota Sang Nabi.

Sosoknya tiada dikenal oleh sesiapa.

Tapi di malam yang sungguh senyap itu,

ia datang bersimpuh menghamba pada Rabb segala hamba.

Kota Sang Nabi dalam paceklik yang berat. Dan segenap penduduknya telah merintih pedih. Tahun itu sungguh berat.

Hingga mereka pun menegakkan Istisqa’

demi turunnya hujan mengakhiri derita itu. Tapi, rintihan Istisqa’ itu belum kunjung terkabulkan…

Hingga,

Sang Hamba dalam gelap itu pun bersimpuh di sana.

Di hadapan salah satu tiang Masjid Nabawi.

Menghamba sepenuh hati.

Bersujud sepenuh rindu.

“Duhai Rabbi, duhai Rabbi…

Segenap ahli kota Nabi-Mu ini telah memohon pada-Mu agar Engkau sudi turunkan hujan untuk mereka.

Tapi Engkau belum turunkan itu untuk mereka…

Maka aku bersumpah atas Nama-Mu, duhai Rabbi,

Karuniakan hujanMu untuk mereka, ya Allah…”

Begitu sang hamba dalam gelap itu merintih.

Seorang tabi’in, Muhammad bin al-Munkadir, menjadi saksi doa “sang hamba dalam gelap” itu.

Tapi ia pun sempat bergumam, “Majnun!”

Yah, siapa pula si “hamba dalam gelap” itu dibanding segenap penduduk Kota Sang Nabi? Sedang doa mereka saja belum kunjung terkabulkan.

Tapi tiba-tiba, Muhammad bin al-Munkadir bertutur:

“…aku dengarkan suara guntur menggelegar!”

Tidak lama kemudian, hujan turun tak terkira lebatnya.

Lalu kudengar ia (si hamba dalam gelap itu) melantunkan segala puja dan puji tak terkira, sambil berkata:

“Duhai, siapakah gerangan hamba ini, hingga Engkau kabulkan pintaku, Ya Allah? Tapi hamba berlindung padaMu dengan segenap pujian dan keMahabesaranMu…’”

Si “hamba dalam gelap” itu pun menghabiskan malam itu dalam sujud-sujud yang panjang hingga subuh menjelang.

Seusai itu, ia keluar meninggalkan mesjid. Lalu saat adzan berkumandang, ia kembali datang ke Masjid Sang Nabi, seakan tak pernah hadir di sana sama sekali.

Muhammad bin al-Munkadir penasaran sungguh hatinya. Siapakah si “hamba dalam gelap” itu?

Disusurinya jejak sang hamba itu, hingga ia pun tahu, “si hamba dalam gelap” itu hanyalah seorang tukang sol sepatu.

Bahkan siapa namanya sekali pun, tak pernah tercatat dalam lembar sejarah. Karena saat ia tahu Muhammad bin al-Munkadir mengetahui “kisah doanya” malam itu, “si hamba dalam gelap” itu pun pergi menghilang: entah ke mana…

Maka di hari-hari yang semakin kabut ini,

mungkin engkaulah “si hamba dalam gelap” itu.

Aku tak pernah peduli tentang dirimu, Kawan.

meski engkau seorang pendosa yang merintih dalam dosa,

meski engkau seorang pengantar keliling yang jarang terlihat,

meski engkau seorang yang tak dikenang sebagai ahli ibadah.

Jangan remehkan dirimu.

Meski engkau seorang pendosa hina.

Karena engkau sedang berdoa

kepada Sang Maha Pengampun!

Jangan remehkan dirimu dan doamu.

Meski kisahmu adalah kisah yang kelam.

Karena engkau sedang berdoa

kepada Sang Maha Penerima Taubat hambaNya.

Hari-hari ini, doa-doamu adalah senjata kita semua,

mengetuk Pintu Langit,

membujuk Sang MahaTinggi,

agar melipur hati dan jiwa yang gelisah ini,

agar mengangkat musibah dan wabah ini,

agar melindungi segenap anak negeri ini,

agar menjaga para dokter, perawat dan segenap tenaga medis,

agar memperbaiki kepemimpinan di negeri ini,

agar akhirnya setiap hati terhidayahi di jalan bencana ini,

agar akhirnya –saat semua usai:

kita semua semakin menyadari

betapa berharganya kesempatan hidup ini

untuk menyemaikan kisah kebahagiaan abadi

dalam episode perjalanan kita di ukhrawi…

Membunuh Kebenaran Agar Bertahan Hidup dalam Aib

25 Apr

Tentara musuh memasuki sebuah desa. Mereka menodai kehormatan seluruh wanita di desa itu, kecuali seorang wanita yang selamat dari penodaan. Dia melawan, membunuh dan kemudian memenggal kepala tentara yang akan menodainya.

Ketika seluruh tentara sudah pergi meninggalkan desa itu, para wanita malang semuanya keluar dengan busana compang-camping, meraung, menangis, dan meratap, kecuali satu orang wanita tadi.

Dia keluar dari rumahnya dengan busana rapat dan bersimbah darah sambil menenteng kepala tentara itu dengan tangan kirinya.

Para wanita bertanya: “Bagaimana engkau bisa melakukan hal itu dan selamat dari bencana ini?”

Ia menjawab, “Bagiku hanya ada satu jalan keluar. Berjuang membela diri atau mati dalam menjaga kehormatan.”

Para wanita mengaguminya, namun kemudian rasa was-was merambat dalam benak mereka. Bagaimana nanti jika para suami menyalahkan mereka gara-gara tahu ada contoh wanita pemberani ini.

Mereka khawatir sang suami akan bertanya, “Mengapa kalian tidak membela diri seperti wanita itu, bukankah lebih baik mati dari pada ternoda?”

Kekaguman pun berubah menjadi ketakutan yang memuncak. Bawah sadar ketakutan para wanita itu seperti mendapat komando.

Mereka beramai-ramai menyerang wanita pemberani itu dan akhirnya membunuhnya. Ya, membunuh kebenaran agar mereka dapat bertahan hidup dalam aib, dalam kelemahan, dalam fatamorgana bersama.

Beginilah keadaan kita saat ini, orang-orang yang terlanjur rusak. Mereka mencela, mengucilkan, menyerang dan bahkan membunuh eksistensi orang-orang yang masih konsisten menegakkan kebenaran, agar kehidupan mereka tetap terlihat berjalan baik.

Walau sesungguhnya penuh aib, dosa, kepalsuan, pengkhianatan, ketidakberdayaan, dan menuju pada kehancuran yang nyata.

Sebelum terlambat, pastikan berani berpihak kepada KEBENARAN.

— Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri.

Nasihat yang Berharga

24 Apr

Inilah di antara tulisan terbaik Syekh Ali Thanthawi:

“Pada saat engkau mati, janganlah kau bersedih.

Jangan pedulikan jasadmu yang sudah mulai layu,

karena kaum muslimin akan mengurus jasadmu.

Mereka akan melucuti pakaianmu, memandikanmu dan mengkafanimu

lalu membawamu ke tempatmu yang baru, kuburan.

Akan ada banyak orang yang mengantarkan jenazahmu

bahkan mereka akan meninggalkan pekerjaannya

untuk ikut menguburkanmu.

Barang barangmu akan dikemas,

kunci-kuncimu, kitab, koper, sepatu dan pakaianmu.

Jika keluargamu setuju barang-barang itu akan disedekahkan agar bermanfaat untukmu.

Yakinlah;

dunia dan alam semesta tidak akan bersedih dengan kepergianmu.

Ekonomi akan tetap berlangsung

Posisi pekerjaanmu akan diisi orang lain.

Hartamu menjadi harta halal bagi ahli warismu.

Sedangkan kamu yang akan dihisab

dan diperhitungkan dari hartamu!

Kesedihan atasmu ada 3:

Orang yang mengenalmu sekilas akan mengatakan, kasihan.

Kawan-kawanmu akan bersedih beberapa jam atau beberapa hari lalu mereka kembali seperti sediakala dan tertawa-tawa.

Di rumah ada kesedihan yang mendalam. Keluargamu akan bersedih seminggu dua minggu, sebulan dua bulan, dan mungkin hingga setahun. Selanjutnya mereka meletakkanmu dalam arsip kenangan.

Demikianlah…”Kisahmu telah berakhir di tengah-tengah manusia”.

Dan kisahmu yang sesungguhnya baru dimulai, Akhirat!

Telah musnah kemuliaan, harta, kesehatan, dan anak.

Telah engkau tinggalkan rumah, istana dan istri tercinta.

Kini hidup yang sesungguhnya telah dimulai.

Pertanyaannya adalah “Apa persiapanmu untuk kuburmu dan akhiratmu?”

Hakikat ini memerlukan perenungan.

Usahakan dengan sungguh-sungguh.

jalankan semua kewajiban, hal-hal yang disunnahkan,

sedekah rahasia, merahasiakan amal shalih, shalat malam,

Semoga saja engkau selamat.

Andai engkau mengingatkan manusia dengan tulisan ini

insya Allah pengaruhnya akan engkau temui dalam timbangan kebaikanmu pada hari kiamat.

“Berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.”

Semoga bermanfaat.

Sudut Pandang Berbeda

23 Apr

Suatu hari ada sepasang suami istri sedang mengendarai mobil mereka di jalan raya. Memang bukan mobil baru, tetapi masih cukup baik untuk digunakan.

Pada suatu persimpangan, sang suami melihat seorang pemuda dari arah berbeda juga mengendarai mobil dengan merek yang sama, tetapi produksi tahun terbaru dan sangat mulus.

Sang suami bergumam dalam hati, “Andai saja mobilku seperti pemuda itu.”

Setelah berjalan lagi, giliran sang istri melihat mobil hitam sedang parkir di tepi jalan.

Kemudian ia mengamati seorang kakek keluar dari mobil itu dan membukakan pintu sebelahnya untuk seorang nenek yang duduk di sampingnya.

Kali ini sang istri terbetik dalam hati, “Seandainya saja suamiku seromantis kakek itu, sudah tua tetap membukakan pintu mobil untuk istrinya.”

Ternyata, jika dua kisah ini diceritakan dari sudut pandang berbeda, sebuah pelajaran berharga bisa kita dapatkan.

Rupanya si pemuda pertama yang sedang mengendarai mobil mahal juga melihat kepada suami istri ini.

Pada waktu yg sama ia pun bergumam dalam hati, “Andai saja aku seperti bapak itu, walaupun mobil tua tetapi milik sendiri… daripada mobil baru seperti ini, tapi aku hanya sopir.”

Begitu pula si kakek, tanpa sengaja ia juga mencuri pandang kepada suami istri ini.

Pada saat itupun ia terbetik dalam hati, “Seandainya saja pintu mobilku tidak rusak seperti mobil bapak itu, pasti aku tidak perlu repot-repot, membuka dari luar.”

Terkadang ‘manusia melihat rumput tetangganya selalu lebih hijau, tanpa mereka sadari sebenarnya tetangganya justru menginginkan rumput mereka.’

Perasaan kecewa itu datang bukan disebabkan kurangnya berkat yang diterima, tetapi karena kurangnya bersyukur.

Semoga bermanfaat.

Maling

22 Apr

“Pak, warga banyak kehilangan kambing. Pasti ada maling.”

“Jangan asal tuduh. Gak mungkin ada maling. Kita ‘kan punya satpam kampung. Tiap sudut kampung. Masuk dari mana mereka? Imposebel.”

“Nyatanya kambing warga banyak hilang, Pak Lurah.”

“Kalian mencurigai para satpam?”

“Bukan, Pak. Kami mencurigai ada maling.”

“Masuk dari manaaa?”

“Namanya maling, Pak. Pasti selalu punya cara.”

“Udah, gini aja. Kasih bukti. Bawa kemari kambing kalian yang ilang.”

“Yaelah, Pak Lurah. Udah ilang … gimana jadi bukti!”

“Berarti nggak ilang, dong. Gimana saya percaya kambing kalian ilang kalo nggak ada bukti.”

“Kambing kami berkurang Pak Lurah. Itu buktinya.”

“Gimana saya bisa tau laporan kalian ini betul atau salah. Jangan-jangan kambing kamu contohnya, Payman, 5 ngaku ke saya 7. Bilang ke saya 2 ilang.”

“Ya Allah, Pak Lurah. Kok, jadi mbulet gini. Pak Lurah itu pimpinan di sini. Kami, warga di sini lapor karena kami semua kehilangan. Apa untungnya kami bohong? Kami takut kalo dibiarin, malingnya merajalela.”

“Nyatanya, kambing saya nggak ilang.”

“Ya ampun, Pak! Jadi, Pak Lurah baru percaya ada maling setelah Pak Lurah ikut kehilangan?”

“Sekarang ini musim hoax. Walaupun banyak dari kalian yang sudah banyak kehilangan, belum tentu ada maling. Lah, kalian nggak ada bukti. Kambing saya juga aman aja, kok.”

Esoknya ….

“Pak Lurah, ini ada bukti. Warga pasang CCTV. Tuh, bener ada maling. Kelihatan.”

“Ha ha ha. Yakin itu maling? Saya curiga ini salah satu dari kalian yang pura-pura jadi maling. Muka sengaja ditutupi. Terus bilang video ini sebagai bukti. Atau, bisa jadi kalian edit.”

“Astaghfirullah, Pak Lurah. Kemarin Pak Lurah minta bukti, kan? Ini buki ril, Pak.”

“Jangan gegabah. Menuduh sembarangan. Bisa jadi kambing kalian dimakan binatang buas.”

“Dari dulu, kampung kita nggak ada binatang buas, Pak Luraaah.”

“Nggak usah debat saya. Gini aja. Video CCTV ini saya bawa untuk diselidiki. Kalau kalian terbukti bohong, kalian yang saya laporkan ke polisi. Satu lagi, siapa yang pasang CCTV?”

“Kami, Pak Lurah. Warga sum-suman belinya.”

“Kalian melanggar aturan. Jika untuk kepentingan kampung, harus seizin saya. Kalian sudah melangkahi wewenang saya sebagai lurah. Kalian bisa dituntut.”

“Jangan, Pak Lurah. Kami minta ma’af jika salah.”

Selanjutnya ….

“Gimana, Pak Lurah?”

“Apanya?”

“Hasil rekaman CCTV kemarin.”

“Asli.”

“Terus?”

“Ya, gimana. Itu orang ketutup wajahnya.”

“Apa gak perlu kita tanyai satpam, Pak Lurah?”

“Maksud kalian apa? Satpam itu suruhan saya. Saya yang gaji mereka. Kalian curiga mereka? Itu artinya kalian curiga sama saya. Kalian akan saya tuntut.”

Warga menyerah. Kapolsek, adik kandung Pak Lurah. Satpam, suruhan Pak Lurah. Pak Lurah mengklaim dia yang menggaji, padahal dari iuran warga. Akh, tapi emang benar … Pak Lurah yang kasih uangnya ke mereka.

Eh, tunggu dulu … kok, Pak Lurah terkesan membela maling, ya?

Akh, sudahlah. Warga tak ingin ribut. Entah apa yang disembunyikan Pak Lurah. Warga hanya berharap, entah kapan … tapi mereka yakin kebusukan akan terbongkar dengan sendirinya. PASTI.

Untuk saat ini, warga membiarkan kejadian ini menjadi misteri.

End

Tak Ada Wanita yang Sempurna

20 Apr

Nggak ada tebu yang kedua kepalanya manis.

Kalau kamu memilih bersama wanita yang bekerja, kamu perlu menerima dia tidak bisa di rumah membersihkan rumah.

Kalau kamu memilih bersama ibu rumah tangga yang menjaga dan merawat rumah, kamu perlu menerima kalo dia tidak menghasilkan uang.

Kalau kamu memilih bersama wanita penurut, kamu harus menerima kalau dia bergantung padamu dan tidak mandiri.

Kalau kamu memilih bersama wanita pemberani kamu harus menerima kalau dia keras kepala dan punya pemikiran sendiri.

Kalau kamu memilih bersama wanita cantik dan suka berhias, kamu harus menerima kalau pengeluarannya juga banyak.

Kalau kamu memilih bersama wanita hebat, kamu juga harus menerima kalau dia itu keras dan tak terkalahkan.

Tak ada wanita yang sempurna, itu hanya ada dalam mimpimu saja.

Jangan sering mengeluh kalau istrimu suka menghamburkan uang, atau mengeluh kalau istri orang lain pandai mengirit uang.

Apa memelihara angsa dan bebek itu modalnya sama?

Lelaki zaman sekarang itu, semuanya berharap wanita lemah lembut, perhatian dan cantik, punya badan bagus, mandiri dan bisa mencari uang, selain itu juga menjaga rumah tangga, hormat pada orang tua, baik hati pada anggota keluargamu.

Tapi coba, kutanyakan, kalo keinginanmu sebegitu banyak, apa kelebihanmu?

Apa kamu tinggi dan tampan? Atau kamu punya tabungan tak terbatas jumlahnya? Atau kamu juga orang yang lemah lembut, perhatian, setia dan menyayangi istri?

Kalau kamu tidak punya semua itu, jangan menuntut isterimu menjadi apa yang kamu mau.

Sapa dan peluk isteri anda sekarang …

berterima kasih lah.

Isteri itu baik buruknya tergantung suami!

CANTIK, bila si suami memberikan hak berhias.

AKHLAK BAIK, bila si suami mengajarkan budi pekerti.

PINTAR, bila si suami mengajarkan ilmu yg baik.

SHOLEHA, bila si suami membimbing agamanya dengan baik.

Semoga bermanfaat.

Antara Diam dan Bicara

19 Apr

Alangkah indahnya DIAM.

Bila BICARA menyakiti orang lain.

Alangkah terhormatnya DIAM.

Bila BICARA hanya untuk merendahkan orang lain.

Alangkah bagusnya DIAM.

Bila BICARA hanya berakibat terhinanya orang lain.

Alangkah cerdiknya DIAM.

Bila BICARA dapat menjerumuskan orang lain.

Alangkah bijaknya DIAM.

Bila BICARA hanya untuk merugikan usaha orang lain.

Akan tetapi…

Betapa dahsyatnya BICARA.

Bila DIAM dapat mengakibatkan celakanya orang lain.

Betapa saktinya BICARA.

Bila DIAM dapat menjadikan ruginya orang lain.

Betapa hebatnya BICARA.

Bila DIAM dapat membuat tidak sadarnya kesalahan yang terus dilakukan orang lain.

Betapa pentingnya BICARA.

Bila DIAM dapat mengakibatkan semakin bodohnya orang lain.

Maka dapatkanlah hikmahnya…

Bila kita harus DIAM dan bila kita harus BICARA, sebab keduanya sama-sama dapat MENIMBULKAN AKIBAT.

Betapa tajamnya kata-kata kita saat kita marah.

Dan betapa teduhnya kata-kata kita saat kita sedang senang hati.

KARENA DIAM ADALAH EMAS, BERBICARA ADALAH MUTIARA DAN HIKMAH LEBIH BERHARGA DARI PADA DIAM

“Tidak baik BERDIAM DIRI tentang sesuatu yang DIKETAHUI dan tidak baik BERBICARA tentang sesuatu yang TIDAK DIKETAHUI”

~ Imam Ali bin Abi Thalib